Kamis, 08 November 2012

PIDATO KEMENANGAN OBAMA

Andi Copy Paste Lagi 
di COPAS dari http://madeandi.com/2012/11/08/pidato-kemenangan-barack-obama-2012/


Terima kasih semua! Terima kasih banyak!
Malam ini, setelah lebih dari 200 tahun sejak bekas koloni memenangkan hak untuk menentukan nasibnya sendiri, tugas untuk menyempurnakan bangsa kita mengalami kemajuan. Gerakan kemajuan ini berkat Anda semua. Gerakan kemajuan ini karena Anda menegaskan kembali semangat yang telah memerdekakan kita dari perang dan depresi, semangat yang telah mengangkat negeri ini dari dalamnya kubang penderitaan menuju menara harapan yang mengangkasa, kepercayaan yang menegaskan bahwa meskipun kita senantiasa mengejar mimpi-mimpi pribadi, kita tetaplah satu keluarga besar Amerika dan kita bangkit atau jatuh bersama-sama sebagai satu nusa, satu bangsa.
Malam ini, di pemilu ini, Anda sekalian, Bangsa Amerika, mengingatkan kita satu hal bahwa meskipun jalan kita sangat cadas, meskipun perjalanan kita telah jauh, kita tetap bergerak laju, kita tetap berjuang melawan keterbatasan, dan kita yakin dalam hati bahwa yang terbaik bagi Amerika Serikat akan datang pada saatnya nanti.
Saya berterima kasih pada setiap warga Amerika yang telah berpatisipasi pada pemilu ini, apakah itu pemilih pemula atau mereka yang telah menunggu dalam barisan antrian yang sangat panjang. Oh ya, kita harus segera memperbaiki sistem antrian ini. Juga kepada mereka yang telah menyusuri jalanan hingga jauh atau menghabiskan waktu menelpon saudara sebangsa, kepada mereka yang mengusung poster Obama atau Romney, Anda telah memperjuangkan agar suara Anda didengar dan Anda telah membuat satu perubahan.
Saya baru saja berbicara dengan Gubernur Romney untuk menyelamatinya dan Paul Ryan atas kampanye yang telah mereka perjuangkan dengan gigih. Kami memang telah bertempur dengan hebat tetapi semua itu kami lakukan karena kecintaan kami yang sangat dalam pada negeri ini dan kepedulian kami yang tinggi pada masa depannya. Mulai dari George, Lenore dan putra mereka Mitt, keluarga Romney telah mengabdi bagi Amerika melalui pelayanan publik dan warisan kebajikan semacam itulah yang kita hormati dan kagumi malam ini. Dalam beberapa minggu ke depan, saya akan duduk bersama Gubernur Romney untuk membicarakan segala perihal yang memungkinkan kami bekerjasama untuk memajukan negeri ini.
Saya berterima kasih pada sahabat dan pasangan saya selama empat tahun terakhir, ksatria Amerika yang senantiasa bahagia, wakil presiden terbaik yang diimpikan siapapun, Joe Biden.
Dan saya tidak akan menjadi seperti yang Anda saksikan hari ini tanpa seorang perempuan yang setuju menikahi saya 20 tahun lalu. Ijinkan saya menyatakan ini di depan semua orang: Michelle, aku tidak pernah mencintaimu lebih dari hari ini. Aku tidak pernah sebangga ini menyaksikan betapa warga Amerika mencintaimu juga segabai Ibu Negara. Sasha dan Malia, di depan mata kami, kalian telah bertumbuh dan menjadi perempuan muda yang kuat dan cantik seperti ibu kalian. Dan ayah sangat bangga pada kalian berdua. Tapi ayah mau katakan sesuatu, satu anjing saja cukup dulu ya, jangan minta nambah lagi :)
Saya juga berterima kasih kepada tim kampanye dan sukarelawan terbaik dalam sejarah polik. Terbaik. Terbaik yang pernah ada. Sebagian dari kalian adalah anggota baru dan sebagian lainnya sudah ada mendampingi saya sejak perjuangan ini dimulai. Apapun itu, kita semua adalah keluarga. Tak peduli apapun yang kalian lakukan dan akan ke mana kalian melangkah setelah ini, kalian akan membawa kenangan sejarah yang telah kita torehkan dan kalian akan menyandang lancana penghargaan dari seorang presiden yang penuh syukur atas bantuan kalian. Terima kasih telah menjaga kepercayaan di sepanjang perjalanan kita, di setiap bukit terjal dan lembah curam yang kita lewati. Kalian telah menopang dan mengangkat saya di sepanjang jalan dan saya akah selalu bersyukur atas semua yang telah kalian lakukan dan segala kerja keras luar biasa yang kalian tunjukkan.
Saya menyadari, kampanye politik kadang kala terlihat begitu kecil, bahkan remah temeh. Dan semua itu menjadi alasan bagi para kaum sinikal yang berkata bahwa politik tidak lebih dari sekedar kontes ego atau perhelatan bagi berbagai kepentingan sesaat. Namun jika Anda sempat berbicara pada mereka yang hadir dalam kampanye kita atau berjejal dalam jalur-jalur tali di sebuah auditorium sekolah, atau sempat melihat mereka yang bekerja hingga larut malam di kantor kampanye di sebuah tempat kecil terpencil yang jauh dari rumah, Anda akan menemukan hal lain.
Anda akan mendengar ketegaran yang hadir lewat suara seorang koordinator lapangan yang bekerja di sekolah-sekolah dan ingin menjamin bahwa setiap anak di Amerika harus memiliki kesempatan yang sama. Anda akan mendengar kebanggan yang menggema dari suara seorang sukarelawan yang berjalan dari rumah ke rumahh karena saudaranya akhirnya bisa bekerja karena perusahaan pabrik mobil membuka lowongan kerja karena menambah jumlah produksi. Anda akan mendengar patriotisme mendalam yang hadir dari suara istri atau suami seorang tentara yang bekerja lewat telepon. Istri atau suami itu bekerja untuk memastikan agar mereka yang sudah berjuang untuk negeri ini tidak harus bersusah payah lagi untuk mendapatkan perkerjaan atau untuk mendapatkan rumah yang melindungi keluarga mereka sekembalinya mereka dari medan juang.
Karena itulah kita melakukan semua ini. Itulah bukti bahwa politik bisa berperan besar untuk kita semua. Itulah sebabnya mengapa pemilu sangatlah penting. Bahwa politik bukanlah hal kecil, politik adalah sesuatu yang besar. Politik sedemikian penting bagi kita. Demokrasi di sebuah negara berpenduduk 300 juta memang bisa hiruk pikuk dan kacau serta ruwet. Kita masing-masing punya pendapat sendiri. Masing-masing dari kita memiliki kepercayaan mendalam. Dan ketika kita melewati masa-masa sulit, ketika kita mengambil keputusan besar atas nama sebuah bangsa, wajar jika semua itu mengobrak abrik obsesi kita dan menimbulkan kontroversi.
Semua itu tidak akan berubah setelah pemilu ini dan memang seharusnya tidak berubah. Berbagai adu argumen dan perseteruan yang kita lakukan adalah penanda kebebasan kita. Kita tidak boleh lupa bahwa bahkan saat kita berbicara sekarang ini, umat manusia di negeri-negeri yang jauh, bahkan terancam hidupnya karena berargumentasi dan menyatakan pendapat tentang isu yang penting bagi hidup mereka, atau tentang kesempatan untuk memberi suara dalam pemilu seperti yang kita lakukan hari ini.
Namun lepas dari berbagai perbedaan itu, sebagian besar dari kita memiliki pandangan dan harapan yang sama terhadap masa depan Amerika. Kita ingin anak-anak kita tumbuh di sebuah negara yang bisa memberi mereka akses terhadap sekolah-sekolah dan guru-guru terbaik. Sebuah negara yang yang layak menyandang warisan sebagai pemimpin dunia di bidang teknologi, penemuan dan inovasi, dengan segala pekerjaan dan bisnis bagus yang menyertainya. Kita ingin anak-anak kita hidup di Amerika yang tidak terbebani oleh hutang, yang tidak dilemahkan karena adanya ketidakadilan, yang tidak terancam oleh kekuatan jahat sebuah planet yang terus memanas. Kita ingin mewariskan sebuah bangsa yang aman dan dihormati serta dipuja di seluruh dunia, sebuah bangsa yang dijaga oleh militer terkuat di dunia dan pasukan terbaik yang pernah ada di muka bumi. Tetapi juga sebuah bangsa yang bergerak maju mengakhiri perang, untuk mewujudkan perdamaian yang dibangun di atas janji kebebasan dan kemandirian setiap individu umat manusia.
Kita percaya pada Amerika yang murah hati, pada Amerika yang penuh cinta, pada Amerika yang toleran, terbuka bagi mimpi seorang putri imigran yang belajar di sekolah Amerika dan dengan khusuk menghormat bendera Amerika. Kita percaya pada seorang anak lelaki di sisi selatan Chicago yang telah melihat kehidupan melampui tikungan jalan di dekat rumahnya. Kita parcaya pada anak pekerja mebel North Carolina yang ingin menjadi dokter atau ilmuwan, insinyur atau pengusaha, diplomat atau bahkan presiden – itulah masa depan yang kita harapkan. Itulah visi yang kita miliki bersama. Itulah yang ingin kita tuju – sebuah kemajuan. Itulah yang ingin kita capai.
Kini, kita akan berbeda pendapat, bahkan kadang-kadang secara brutal, perihal bagaimana mencapai semua itu. Seperti yang sudah terbukti selama dua abad lebih, kemajuan akan terjadi jika kita mencapai kesepakatan dan jika kita mau memulainya. Tentu saja jalan kita tidak selalu berupa garis lurus. Tidak selalu kita melewati jalan yang mulus. Bahwa kesadaran akan adanya harapan dan mimpi yang sama tidak menjamin akan bebas hambatan. Harapan dan mimpi yang sama tidak akan menyelesaikan semua masalah. Kita tetap harus bekerja keras untuk membangun kesepakatan dan membuat kompromi yang sulit dalam memajukan negara ini. Namun kesamaan harapan dan mimpi itulah yang mengikat kita dan menjadi titik awal untuk memulai satu langkah besar.
Ekonomi kita dalam masa pemulihan. Perang yang berlangsung satu dekade kini berakhir. Kampanye yang panjang kini sudah selesai. Dan tidak peduli apakan saya memperoleh suara Anda atau tidak, saya telah mendengarkan Anda, saya telah belajar dari Anda, dan Anda telah menjadikan saya seorang presiden yang lebih baik. Dengan berbekal kisah dan perjuangan Anda, saya kembali ke Gedung Putih dengan tekad dan inspirasi yang lebih besar dari sebelumnya untuk menyelesaikan pekerjaan yang masih tersisa demi masa depan yang menanti kita.
Malam ini, Anda memilih untuk sebuah tindakan nyata, bukan semata-mata karena alasan politik biasanya. Anda memilih kami untuk fokus pada pekerjaan Anda, bukan pada pekerjaan kami. Dalam beberapa minggu dan bulan ke depan saya akan membuka diri untuk bekerja bersama para pemimpin kedua partai untuk bisa mengatasi tantangan yang bisa dilakukan hanya jika kita bersatu. Mengurangi defisit anggaran kita. Mereformasi kode pajak. Memperbaiki sistem imigrasi kita. Membebaskan bangsa kita dari ketergantungan atas minyak asing. Kami memiliki banyak pekerjaan untuk dituntaskan. Namun bukan berarti tugas Anda sudah selesai. Peran warga negara dalam demokrasi kita tidaklah berhenti ketika sudah memilih dalam pemilu. Prinsip Amerika bukanlah “apa yang bisa dilakukan untuk kita?” Prinsip Amerika adalah “apa yang bisa dikerjakan oleh kita secara bersama” melalui tugas pemerintah yang sulit dan melelahkan, tetapi wajib dilakukan. Itulah prinsip yang mendasari kehidupan bangsa kita.
Negeri ini memiliki harta lebih dari bangsa manapun, tetapi bukan hal itu yang membuat kita kaya. Kita memiliki tentara paling digdaya sepanjang sejarah, tetapi bukan itu yang membuat kita kuat. Universitas kita, kebudayaan kita membuat dunia iri, tetapi bukan itu yang membuat bangsa-bangsa lain di dunia datang pada kita. Apa yang membuat Amerika berbeda dan istimewa adalah adanya ikatan yang mampu menyatukan bangsa kita yang paling beragam di dunia. Keyakinan bahwa tujuan akhir kita sama; bahwa negeri ini akan berfungsi jika kita menerima dan menjalankan kewajiban tertentu terhadap sesama dan terhadap generasi mendatang. Kebebasan yang diperjuangkan oleh Bangsa Amerika hingga berkorban nyawa menghadirkan tanggung jawab sekaligus hak. Diantaranya adalah cinta, sedekah, keawajiban dan patriotisme. Itulah yang membuat Amerika besar dan hebat.
Saya punya harapan besar malam ini karena saya telah melihat semangat itu dalam tugas dan kerja di seluruh Amerika. Saya melihatnya dalam bisnis keluarga yang pemiliknya memilih untuk mengurangi gaji sendiri demi tidak mem-PHK tetangga yang bekerja padanya. Saya melihat semangat itu pada pekerja yang memilih untuk mengurangi jam kerja agar temannya tidak kehilangan pekerjaan karena di-PHK. Saya melihat semangat ini pada para tentara yang bersedia bertugas lagi meskipun kehilangan anggota tubuh dan pada satuan khusus Angkatan Laut Amerika (Navy SEALs) yang mendaki tangga dalam kegelapan karena mereka tahu ada seorang kawan yang menjaga dan melindungi mereka dari belakang.
Saya telah menyaksikan ini di sepanjang pantai New Jersey dan New York, ketika para pemimpin semua partai dan semua tingkat pemerintahan rela menyingkirkan perbedaan d iantara mereka demi membantu masyarakat membangun kembali puing-puing akibat badai yang begitu ganas. Dan saya melihat semangat itu beberapa hari lalu di Mentor, Ohio, ketika seorang ayah berkisah tentang putrinya yang berusia delapan tahun. Perjuangannya melawan leukemia hampir seja menelan semua yang mereka memiliki, jika saja tidak diselamatkan oleh reformasi pelayanan kesehatan yang diundangkan beberapa bulan sebelum perusahaan asuransi menghentikan pembayaran perawatan anak itu. Saya berkesempatan untuk tidak saja berbicara pada ayah itu tetapi juga bertemu dengan anaknya yang luar biasa. Dan ketika dia berbicara pada orang-orang yang khusuk mendengarkan, semua pasien di ruang itu meneteskan air mata karena mereka sadar bahwa hal itu bisa terjadi pada siapa saja, termasuk pada anak mereka sendiri. Dan saya yakin bahwa setiap warga Amerika ingin masa depan anak itu secerah mungkin. Itulah kita Bangsa Amerika. Demikianlah bangsa ini yang membuat saya bangga sebagai presidennya.
Lepas dari segala kesulitan yang telah kita lalui, lepas dari segala frustasi yang terjadi di Washington, saya tidak pernah merasa lebih yakin dan lebih penuh harap dari malam ini tentang masa depan bangsa kita. Saya tidak pernah merasa lebih yakin dari malam ini terhadap Amerika. Dan saya memohon Anda semua untuk mempertahankan harapan besar itu. Saya tidak menyampaikan optimisme membabi buta yang mengabaikan besarnya tugas dan kewajiban di depan mata atau berbagai hambatan yang menghadang di tengah jalan. Saya tidak menyampaikan idealisme mengawang-awang yang membuat kita hanya duduk dan menonton di pinggir arena atau menghindar dari pertempuran. Saya selalu yakin bahwa harapan adalah suatu ketegaran dalam diri kita yang yakin bahwa sesuatu yang lebih baik tengah menunggu kita selama kita memiliki semangat dan keberanian untuk selalu merengkuh, tetap bekerja, dan tetap berjuang, meskipun kadang tanda-tanda kegagalan begitu jelas di depan mata.
Amerika, saya percaya bahwa kita bisa tetap memajukan segala perkembangan yang sudah kita capai dan tetap berjuang untuk menciptakan lapangan kerja baru dan kesempatan baru dan jaminan baru bagi kelas menengah kita. Saya yakin kita bisa menepati janji para pendiri bangsa kita, sebuah gagasan bahwa jika Anda bertekad untuk kerja keras, tidak jadi soal siapaun Anda dan dari mana asal Anda atau bagaimanapun rupa Anda atau siapapun yang Anda cintai. Tidak jadi soal apakah Anda hitam atau putih, Bangsa Hispanik atau Asia atau Amerika Asli atau muda atau tua atau kaya atau miskin, berkebutuhan khusus atau tidak, gay atau tidak, Anda bisa berhasil di Amerika jika Anda berniat mencoba dengan sungguh-sungguh.
Saya yakin kita bisa raih masa depan bersama karena kita sesungguhnya tidaklah seterbelah yang ditunjukkan oleh kehidupan politik. Kita tidaklah sesinikal yang dipercaya oleh para analis itu. Kita sesungguhnya lebih besar dari ambisi para pribadi, dan kita tetaplah lebih dari sekedar kumpulan bangsa merah (republikan) dan biru (Demokrat). Kita selalu dan tetap adalah kumpulan bangsa Amerika, the United States of America.
Dan dengan dukungan Anda serta ridho Tuhan yang Maha Kuasa, kita akan melanjutkan perjalanan kita ke depan dan mengingatkan dunia sekali lagi mengapa kita hidup dan menjadi sebuah bangsa terbesar di dunia. Terima kasih, Amerika. Semoga Tuhan memberkati Anda semua. Semoga Tuhan memberkati bangsa kita, Amerika Serikat.

Rabu, 31 Oktober 2012

SMART PATIENT


Sharing, semoga berguna buat yang membaca...

(dikutip dari buku "Smart Patient" karya dr. Agnes Tri Harjaningrum)

** Dimana Salahnya?**



Malik tergolek lemas. Matanya sayu. Bibirnya pecah-pecah. Wajahnya kian tirus. Di mataku ia berubah seperti anak dua tahun kurang gizi. Biasanya aku selalu mendengar celoteh dan tawanya di pagi hari. Kini tersenyum pun ia tak mau. Sesekali ia muntah. Dan setiap melihatnya muntah, hatiku tergores-gores rasanya. Lambungnya diperas habis-habisan seumpama ampas kelapa yang tak lagi bisa mengeluarkan santan. Pedih sekali melihatnya terkaing-kaing seperti itu.

Waktu itu, belum sebulan aku tinggal di Belanda, dan putraku Malik terkena demam tinggi. Setelah tiga hari tak juga ada perbaikan aku membawanya ke huisart (dokter keluarga) kami, dokter Knol namanya.

"Just wait and see. Don’t forget to drink a lot. Mostly this is a viral infection."  kata dokter tua itu.

"Ha? Just wait and see? Apa dia nggak liat anakku dying begitu?" batinku meradang. Ya…ya…aku tahu sih masih sulit untuk menentukan diagnosa pada kasus demam tiga hari tanpa ada gejala lain. Tapi masak sih nggak diapa-apain. Dikasih obat juga enggak! Huh! Dokter Belanda memang keterlaluan! Aku betul-betul menahan kesal.

"Obat penurun panas Dok?" tanyaku lagi.

"Actually that is not necessary if the fever below 40 C."

Waks! Nggak perlu dikasih obat panas? Kalau anakku kenapa-kenapa memangnya dia mau nanggung? Kesalku kian membuncah.

Tapi aku tak ingin ngeyel soal obat penurun panas. Sebetulnya di rumah aku sudah memberi Malik obat penurun panas, tapi aku ingin dokter itu memberi obat jenis lain. Sudah lama kudengar bahwa dokter disini pelit obat. Karena itu aku membawa setumpuk obat-obatan dari Indonesia, termasuk obat penurun panas.

Dua hari kemudian, demam Malik tak kunjung turun dan frekuensi muntahnya juga bertambah. Aku segera kembali ke dokter. Tapi si dokter tetap menyuruhku wait and see. Pemeriksaan laboratorium baru akan dilakukan bila panas anakku menetap hingga hari ke tujuh.

"Anakku ini suka muntah-muntah juga Dok," kataku.

Lalu si dokter menekan-nekan perut anakku. "Apakah dia sudah minum suatu obat?"

Aku mengangguk. "Ibuprofen syrup Dok," jawabku.

Eh tak tahunya mendengar jawabanku, si dokter malah ngomel-ngomel,"Kenapa kamu kasih syrup Ibuprofen? Pantas saja dia muntah-muntah. Ibuprofen itu sebaiknya tidak diberikan untuk anak-anak, karena efeknya bisa mengiritasi lambung. Untuk anak-anak lebih baik beri paracetamol saja."

Huuh! Walaupun dokter itu mengomel sambil tersenyum ramah, tapi aku betul-betul jengkel dibuatnya. Jelek-jelek begini gue lulusan fakultas kedokteran tau! Nah kalau buat anak nggak baik kenapa di Indonesia obat itu bertebaran! Batinku meradang.

Untungnya aku masih bisa menahan diri. Tapi setibanya dirumah, suamiku langsung menjadi korban kekesalanku."Lha wong di Indonesia, dosenku aja ngasih obat penurun panas nggak pake diukur suhunya je. Mau 37 keq, 38 apa 39 derajat keq, tiap ke dokter dan bilang anakku sakit panas, penurun panas ya pasti dikasih. Sirup ibuprofen juga dikasih koq ke anak yang panas, bukan cuma parasetamol. Masa dia bilang ibuprofen nggak baik buat anak!" Seperti rentetan peluru, kicauanku bertubi-tubi keluar dari mulutku.

"Mana Malik nggak dikasih apa-apa pulak, cuma suruh minum parasetamol doang, itu pun kalau suhunya diatas 40 derajat C! Duuh memang keterlaluan Yah dokter Belanda itu!"

Suamiku menimpali, "Lho, kalau Mama punya alasan, kenapa tadi nggak bilang ke dokternya?"

Aku menarik napas panjang. "Hmm…tadi aku sudah kadung bete sama si dokter, rasanya ingin buru-buru pulang saja. Tapi…alasannya apa ya?"

Mendadak aku kebingungan. Aku akui, sewaktu praktek menjadi dokter dulu, aku lebih banyak mencontek apa yang dilakukan senior. Tiga bulan menjadi co-asisten di bagian anak memang membuatku kelimpungan dan belajar banyak hal, tapi hanya secuil-secuil ilmu yang kudapat. Persis seperti orang yang katanya travelling keliling Eropa dalam dua minggu. Menclok sebentar di Paris, lalu dua hari pergi ke Roma. Dua hari di Amsterdam, kemudian tiga hari mengunjungi Vienna. Puas beberapa hari berdiam di Berlin dan Swiss, kemudian waktu habis. Tibalah saatnya pulang lagi ke Indonesia. Tampaknya orang itu sudah keliling Eropa, padahal ia hanya mengunjungi ibukota utama saja. Masih banyak sekali negara dan kota-kota di Eropa yang belum disambanginya. Dan itu lah yang terjadi pada kami, pemuda-pemudi fresh graduate from the oven Fakultas Kedokteran. Malah kadang-kadang apa yang sudah kami pelajari dulu, kasusnya tak pernah kami jumpai dalam praktek sehari-hari. Berharap bisa memberikan resep cespleng seperti dokter-dokter senior, akhirnya kami pun sering mengintip resep ajian senior!

Setelah Malik sembuh, beberapa minggu kemudian, Lala, putri pertamaku ikut-ikutan sakit. Suara Srat..srut..srat srut dari hidungnya bersahut-sahutan. Sesekali wajahnya memerah gelap dan bola matanya seperti mau copot saat batuknya menggila. Kadang hingga bermenit-menit batuknya tak berhenti. Sesak rasanya dadaku setiap kali mendengarnya batuk. Suara uhuk-uhuk itu baru reda jika ia memuntahkan semua isi perut dan kerongkongannya. Duuh Gustiiii…kenapa tidak Kau pindahkan saja rasa sakitnya padaku Nyerii rasanya hatiku melihat rautnya yang seperti itu. Kuberikan obat batuk yang kubawa dari Indonesia pada putriku. Tapi batuknya tak kunjung hilang dan ingusnya masih meler saja. Lima hari kemudian, Lala pun segera kubawa ke huisart. Dan lagi-lagi dokter itu mengecewakan aku.

"Just drink a lot," katanya ringan.

Aduuuh Dook! Tapi anakku tuh matanya sampai kayak mata sapi melotot kalau batuk, batinku kesal.

"Apa nggak perlu dikasih antibiotik Dok?" tanyaku tak puas.

"This is mostly a viral infection, no need for an antibiotik," jawabnya lagi.

Ggrh…gregetan deh rasanya. Lalu ngapain dong aku ke dokter, kalo tiap ke dokter pulang nggak pernah dikasih obat. Paling enggak kasih vitamin keq! omelku dalam hati.

"Lalu Dok, buat batuknya gimana Dok? Batuknya tuh betul-betul terus-terusan," kataku ngeyel.

Dengan santai si dokter pun menjawab,"Ya udah beli aja obat batuk Thyme syrop. Di toko obat juga banyak koq."

Hmm…lumayan lah… kali ini aku pulang dari dokter bisa membawa obat, walau itu pun harus dengan perjuangan ngeyel setengah mati dan walau ternyata isi obat Thyme itu hanya berisi ekstrak daun thyme dan madu.

"Kenapa sih negara ini, katanya negara maju, tapi koq dokternya kayak begini." Aku masih saja sering mengomel soal huisart kami kepada suamiku. Saat itu aku memang belum memiliki waktu untuk berintim-intim dengan internet. Jadi yang ada di kepalaku, cara berobat yang betul adalah seperti di Indonesia. Di Indonesia, anak-anakku punya langganan beberapa dokter spesialis anak. Dokter-dokter ini pernah menjadi dosenku ketika aku kuliah. Maklum, walaupun aku lulusan fakultas kedokteran, tapi aku malah tidak pede mengobati anakanakku sendiri. Dan walaupun anak-anakku hanya menderita penyakit sehari-hari yang umum terjadi pada anak seperti demam, batuk pilek, mencret, aku tetap membawa mereka ke dokter anak. Meski baru sehari, dua atau tiga hari mereka sakit, buru-buru mereka kubawa ke dokter. Tak pernah aku pulang tanpa obat. Dan tentu saja obat dewa itu, sang antibiotik, selalu ada dalam kantong plastik obatku.

Tak lama berselang putriku memang sembuh. Tapi sebulan kemudian ia sakit lagi. Batuk pilek putriku kali ini termasuk ringan, tapi hampir dua bulan sekali ia sakit. Dua bulan sekali memang lebih mendingan karena di Indonesia dulu, hampir tiap dua minggu ia sakit. Karena khawatir ada yang tak beres, lagi-lagi aku membawanya ke huisart.

"Dok anak ini koq sakit batuk pilek melulu ya, kenapa ya Dok."

Setelah mendengarkan dada putriku dengan stetoskop, melihat tonsilnya, dan lubang hidungnya,huisart-ku menjawab,"Nothing to worry. Just a viral infection."

Aduuuh Doook… apa nggak ada kata-kata lain selain viral infection seh!  Lagilagi aku sebal.

"Tapi Dok, dia sering banget sakit, hampir tiap sebulan atau dua bulan Dok," aku ngeyel seperti biasa.

Dokter tua yang sebetulnya baik dan ramah itu tersenyum. "Do you know how many times normally children get sick every year?"

Aku terdiam. Tak tahu harus menjawab apa. "enam kali," jawabku asal.

"Twelve time in a year, researcher said," katanya sambil tersenyum lebar. "Sebetulnya kamu tak perlu ke dokter kalau penyakit anakmu tak terlalu berat," sambungnya.

Glek! Aku cuma bisa menelan ludah. Dijawab dengan data-data ilmiah seperti itu, kali ini aku pulang ke rumah dengan perasaan malu. Hmm…apa aku yang salah? Dimana salahnya? Ah sudahlah…barangkali si dokter benar, barangkali memang aku yang selama ini kurang belajar.

Setelah aku bisa beradaptasi dengan kehidupan di negara Belanda, aku mulai berinteraksi dengan internet. Suatu saat aku menemukan artikel milik Prof. Iwan Darmansjah, seorang ahli obat-obatan dari Fakultas Kedokteran UI. Bunyinya begini: "Batuk - pilek beserta demam yang terjadi sekali-kali dalam 6 - 12 bulan sebenarnya masih dinilai wajar. Tetapi observasi menunjukkan bahwa kunjungan ke dokter bisa terjadi setiap 2 - 3 minggu selama bertahun-tahun." Wah persis seperti yang dikatakan huisartku, batinku. Dan betul anak-anakku memang sering sekali sakit sewaktu di Indonesia dulu.

"Bila ini yang terjadi, maka ada dua kemungkinan kesalahkaprahan dalam penanganannya," Lanjut artikel itu. "Pertama, pengobatan yang diberikan selalu mengandung antibiotik. Padahal 95% serangan batuk pilek dengan atau tanpa demam disebabkan oleh virus, dan antibiotik tidak dapat membunuh virus. Di lain pihak, antibiotik malah membunuh kuman baik dalam tubuh, yang berfungsi menjaga keseimbangan dan menghindarkan kuman jahat menyerang tubuh. Ia juga mengurangi imunitas si anak, sehingga daya tahannya menurun. Akibatnya anak jatuh sakit setiap 2 - 3 minggu dan perlu berobat lagi.

Lingkaran setan ini: sakit –> antibiotik-> imunitas menurun -> sakit lagi, akan membuat si anak diganggu panas-batuk-pilek sepanjang tahun, selama bertahun-tahun."

Hwaaaa! Rupanya ini lah yang selama ini terjadi pada anakku. Duuh…duuh..kemana saja aku selama ini sehingga tak menyadari kesalahan yang kubuat sendiri pada anak-anakku. Eh..sebetulnya..bukan salahku dong. Aku kan sudah membawa mereka ke dokter
spesialis anak. Sekali lagi, mereka itu dosenku lho! Masa sih aku tak percaya kepada mereka. Dan rupanya, setelah di Belanda 'dipaksa' tak lagi pernah mendapat antibiotik untuk penyakit khas anak-anak sehari-hari, sekarang kondisi anak-anakku jauh lebih baik. Disini, mereka jadi jarang sakit, hanya diawal-awal kedatangan saja mereka sakit.

Kemudian, aku membaca lagi artikel-artikel lain milik prof Iwan Darmansjah. Dan di suatu titik, aku tercenung mengingat kata-kata 'pengobatan rasional'. Lho…bukankah dulu aku juga pernah mendapatkan kuliah tentang apa itu pengobatan rasional. Hey! Lalu kemana perginya ingatan itu? Jadi, apa yang selama ini kulakukan, tidak meneliti baik-baik obat yang kuberikan pada anak-anakku, sedikit-sedikit memberi obat penurun panas, sedikit-sedikit memberi antibiotik, baru sehari atau dua hari anak mengalami sakit ringan seperti, batuk, pilek, demam, mencret, aku sudah panik dan segera membawa anak ke dokter, serta sedikit-sedikit memberi vitamin. Rupanya adalah tindakan yang sama sekali tidak rasional! Hmm... kalau begitu, sistem kesehatan di Belanda adalah sebuah contoh sistem yang menerapkan betul apa itu pengobatan rasional.

Belakangan aku pun baru mengetahui bahwa ibuprofen memang lebih efektif menurunkan demam pada anak, sehingga di banyak negara termasuk Amerika Serikat, ibuprofen dipakai secara luas untuk anakanak. Tetapi karena resiko efek sampingnya lebih besar, Belgia dan Belanda menetapkan kebijakan lain. Walaupun obat ibuprofen juga tersedia di apotek dan boleh digunakan untuk usia anak diatas 6 bulan, namun di kedua negara ini, parasetamol tetap dinyatakan sebagai obat pilihan pertama pada anak yang mengalami demam. "Duh, untung ya Yah aku nggak bilang ke huisart kita kalo aku ini di Indonesia adalah seorang dokter. Kalo iya malu-maluin banget nggak sih, ketauan begonya hehe," kataku pada suamiku.

Jadi, bagaimana dengan para orangtua di Indonesia? Aku tak ingin berbicara terlalu jauh soal mereka-mereka yang tinggal di desa atau orang-orang yang terpinggirkan, ceritanya bisa lain. Karena kekurangan dan ketidakmampuan, untuk kasus penyakit anak sehari-hari, orang-orang desa itu malah relatif 'terlindungi' dari paparan obat-obatan yang tak perlu. Sementara kita yang tinggal di kota besar, yang cukup berduit, sudah melek sekolah, internet dan pengetahuan, malah kebanyakan selalu dokter-minded dan gampang dijadikan sasaran oleh perusahaan obat dan media. Batuk pilek sedikit ke dokter, demam sedikit ke dokter, mencret sedikit ke dokter. Kalau pergi ke dokter lalu tak diberi obat, biasanya kita malah ngomel-ngomel, 'memaksa' agar si dokter memberikan obat. Iklan-iklan obat pun bertebaran di media, bahkan tak jarang dokter-dokter 'menjual' obat tertentu melalui media. Padahal mestinya dokter dilarang mengiklankan suatu produk obat.

Dan bagaimana pula dengan teman-teman sejawatku dan dosen-dosenku yang kerap memberikan antibiotik dan obat-obatan yang tidak perlu pada pasien batuk, pilek, demam, mencret? Malah aku sendiri dulu pun melakukannya karena nyontek senior. Apakah manfaatnya lebih besar dibandingkan resikonya? Tentu saja tidak. Biaya pengobatan membengkak, anak malah gampang sakit dan
terpapar obat yang tak perlu. Belum lagi bahaya besar jelas mengancam seluruh umat manusia: superbug, resitensi antibiotik! Tapi mengapa semua itu terjadi?

Duuh Tuhan, aku tahu sesungguhnya Engkau tak menyukai sesuatu yang sia-sia dan tak ada manfaatnya. Namun selama ini aku telah alpa. Sebagai orangtua, bahkan aku sendiri yang mengaku lulusan fakultas kedokteran ini, telah terlena dan tak menyadari semuanya. Aku tak akan eling kalau aku tidak menyaksikan sendiri dan tidak tinggal di negeri kompeni ini. Apalagi dengan masyarakat awam, para orangtua baru yang memiliki anak-anak kecil itu. Jadi bagaimana mengurai keruwetan ini seharusnya? Uh! Memikirkannya aku seperti terperosok ke lubang raksasa hitam. Aku tak tahu, sungguh!

Tapi yang pasti kini aku sadar…telah terjadi kesalahan paradigma pada kebanyakan kita di Indonesia dalam menghadapi anak sakit. Disini aku sering pulang dari dokter tanpa membawa obat. Aku ke dokter biasanya 'hanya' untuk konsultasi, memastikan diagnosa penyakit anakku dan penanganan terbaiknya, serta meyakinkan diriku bahwa anakku baik-baik saja. Tapi di Indonesia, bukankah paradigma yang masih kerap dipegang adalah ke dokter = dapat obat? Sehingga tak jarang dokter malah tidak bisa bertindak rasional karena tuntutan pasien. Aku juga sadar sistem kesehatan di Indonesia memang masih ruwet. Kebijakan obat nasional belum berpihak pada rakyat. Perusahaan obat bebas beraksi‘ tanpa ada peraturan dan hukum yang tegas dari pemerintah. Dokter pun bebas meresepkan obat apa saja tanpa ngeri mendapat sangsi. Intinya, sistem kesehatan yang ada di Indonesia saat ini membuat dokter menjadi sulit untuk bersikap rasional.

Lalu dimana ujung pangkal salahnya? Ah rasanya percuma mencari-cari ujung pangkal salahnya. Menunjuk siapa yang salah pun tak ada gunanya. Tapi kondisi tersebut jelas tak bisa dibiarkan. Siapa yang harus memulai perubahan? Pemerintah, dokter, petugas kesehatan, perusahaan obat, tentu semua harus berubah. Namun, dalam kondisi seperti ini, mengharapkan perubahan kebijakan pemerintah dalam waktu dekat sungguh seperti pungguk merindukan bulan. Yang pasti, sebagai pasien kita pun tak bisa tinggal diam. Siapa bilang pasien tak punya kekuatan untuk merubah sistem kesehatan? Setidaknya, bila pasien 'bergerak', masalah kesehatan di Indonesia, utamanya kejadian pemakaian obat yang tidak rasional dan kesalahan medis tentu bisa diturunkan.


http://agnes.ismailfahmi.org/books/smart-patient.php#book

Senin, 29 Oktober 2012

RAJWA dan Kid's Campus

Tahun Ajaran Baru ini Mbak Wawa udah sekolah lho di Kid's Campus Class Toddler .........
Mbak Wawa dapat kelompok Class Banana

Guru Kelas ku Miss Yatie dan Miss Uut....

Ini kegiatanku di Sekolah....



BUAH HATIKU dan GULING KESAYANGANNYA

Rajwa dan "guling moncomg merah" nya....................






Rafka dengan " guling mungil" nya





Senangnya melihat puteri dan pangeran kecilku tumbuh sehat dan cerdas..........Alhamdulillah ya Allah dan semoga senantiasa sehat, kuat dan tambah pinter............doa dan cium sayang selalu dari Ayah dan Bunda ya nak,,,,,,,,,,,,,,,


COOKING ON THE LONG WEEKEND

Liburan Idul Adha  kali ini diisi dengan acara masak-masak.....

DONAT KENTANG














Bahan:

500 gr   tepung terigu protein tinggi
50 gr     susu bubuk
11 gr     ragi instant
200 gr   kentang, kukus, haluskan dan dinginkan
100 gr   gula pasir
75 gr     mentega
½ sdt    garam
4 btr      kuning telur
100 ml   air dingin
Cara membuatnya:
  1. Dalam wadah, campur tepung terigu, gula, susu bubuk, ragi instant, aduk rata, masukkan kentang halus ,tuang telur dan air dingin, uleni hingga rata dan setengah kalis.
  2. Beri mentega dan garam, uleni terus hingga kalis elastis. Istirahatkan 15 menit.
  3. Bagi adonan, masing-masing 50 gr, bulatkan. Diamkan 20 menit, hingga mengembang.
  4. Lubangi tengahnya, menjadi bentuk donat, segera goreng sampai kuning kecoklatan.
  5. Angkat, tiriskan. Taburi gula donat, atau hias dengan coklat atau meses

 TONGSENG DAGING SAPI














Bahan
500 gr Daging Sapi
1 buah tomat diiris
10 buah bawang merah diiris
10 butir cabe rawit diiris
1 sendok teh bumbu kari
kecap manis secukupnya
1 sendok makan mentega untuk menumis
bawang goreng sebagai taburan
air secukupnya

Bumbu dihaluskan :
5 butir kemiri sangrai
10 butir bawang putih
garam secukupnya
merica secukupnya

Cara Membuatnya:

1. Tumis bumbu yang dihaluskan dengan mentega tambahkan irisan bawang merah tumis sampai harum
2. Masukkan daging tambahkan air dan bumbu-bumbu masak sampai daging lunak
2. Tambahkan kecap, bumbu kari koreksi   rasanya
4.  Masukkan tomat iris dan cabe iris masak sebentar angkat, 
5. Sajikan dengan taburan bawang goreng.